Koper merah di toko itu…

Ibu,,, masih ingatkah engkau dengan janji kita di depan koper merah itu?

saya harap masih, karena selama ingatan mengenai janji kita di depan koper itu ada, sejauh itu juga aku akan melangkah.

Koper itu bisa saja kau beli untukku, tapi esensi yang kita tanamkan dalam janji di depan koper itu takkan ada jika koper merah itu dibeli begitu saja.

Saya ingat secara detail, saat saya tertegun memandangi koper yang sedang di diskon itu, di depan etalase toko itu.. dan kau, Ibu, kau sentuh bahuku dengan kehangatanmu, sambil berkata meyakinkan, bahwa aku akan memiliki koper itu. Aku paham, bukan membelinya dengan kesia-siaan saat itu yang kau janjikan, tapi sebagai simbol.. sebagai wujud, bahwa dirimu pun mendoakan apa yang aku cita-citakan.

Koper, tas kotak keras yang akan diiisi pakaian dan barang-barang saat bepergian.. adalah caramu meyakinkan aku, bahwa suatu saat nanti, akupun akan pergi jauh menjemput cita-cita yang terucap dalam setiap doa penghambaan pada Allah yang Maha Pemberi.

Aku ingat, saat aku lulus SMP dan hendak melanjutkan pendidikanku ke sekolah menengah di luar negeri dengan beasiswa, dirimu terasa begitu berat mengatakan “Apa kau akan baik-baik saja jika sendirian di sana?”. Kalimat itu, kalimat yang tidak berisi keikhlasan hatimu untuk melepasku ke negeri orang, dicatat oleh malaikat dan didengar oleh-Nya, sang Maha Pendengar, maka sulitlah aku saat itu bahkan hanya untuk sekedar mendaftar melengkapi persyaratan.

Dan, masa-masa ketika aku hendak lulus SMA akan menjadi kenangan dalam upaya memiliki koper itu. Saat aku pulang dari asrama SMA ke rumah membawa print-out formulir beasiswa ke Singapura. Beasiswa penuh 4 tahun lamanya. Aku lihat, wajahmu begitu teduh dengan anggukan takzim dan bersemangat, didukung oleh ayah yang meski sakit namun tetap penuh dukungan terhadapku… keikhlasan dan keridhoan kalian, Ayah dan Ibu, yang mengantarkan aku pada sebuah email pemberitahuan, bahwa aku masuk dalam daftar orang2 yang dipertimbangkan meraih beasiswa itu.

Namun, kejadian yang menimpa pelajar negara kita di negeri itu pada waktu yg sama, membuat hatimu ragu untuk melepasku, untuk memiliki koper itu. Maka, tibalah waktu pengumuman akhir beasiswa itu. Aku ingat saat itu aku yang sudah dua bulan kuliah di perguruan tinggi negeri. Kau bersama ayah datang menemuiku yang berpeluh sehabis mata kuliah olahraga, jauh-jauh menempuh perjalanan, untuk memberiku satu buah amplop putih panjang bercetak lambang negeri singa. Amplop yang isinya akan menjawab penantian-penantian atas cita2 menuntut imu di negeri orang. Atas harapan yang kubuat untuk menggunakan passport sebelum 2010 usai. Sebelum amplop itu kubuka, aku ingat kalimat pendekmu.. “Do’a ibu dikabulkan Allah lagi, teh!” aku yg mengira bahwa Ibu dan Ayah masih merestui aku menuntut ilmu disana dengan mata berbinar membuka amplop itu..dan kecewa pada awal paragraf ini: “We regret that you….” regret,, yeah.. ga lulus šŸ˜› maka mengalirlah cerita ibu bahwa sejak berita mengenai mahasiswa indonesia yg meninggal di negeri tersebut ada di TV, ibu dan ayah sepakat untuk tidak mengijinkanku kuliah disana.

Betapa Allah memberikan ridho-Nya padaku setelah keridhoanmu dan keridhoan ayah…

“Ridho Allah tergantung kepada keridhoan orang tua dan murka Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua” (HR Bukhori, Ibnu Hibban, Tirmidzi, Hakim)

Dan.. Ā disinilah aku saat ini, kembali berada dalam sebuah penantian untuk konferensi pendek di negeri ginseng. Pengumuman untukku akan ada dalam tenggat 5 hari kerja dari hari ini. Dan, aku berharap, keridhoan Ibu dan Ayah kali ini tak terhenti, hingga akan kudapati keridhoan Allah SWT.

Koper merah di toko itu tempat aku dan ibu berjanji mungkin sudah tidak ada, begitu juga dengan diskonnya. Tapi, janji itu akan ada, selama aku dan ibu mengingatnya, juga selagi ada usaha untuk mencapainya.

Ibu, Ayah.. kumohon restumu..

*kita lihat, apa takdir Allah atas usaha ini 5 hari kerja sejak hari ini*

Bismillahirrahmaanirrahiim…

Tinggalkan komentar